Monday, April 16, 2018

Berteman dengan Kesepian


Mendekati usia 30 tahun, masih tinggal dengan orangtua, kerja freelance dan belum memiliki pasangan bukan perkara yang mudah (bagi saya). 

Rasa “sepi” dan “sendiri” sudah jadi teman sehari-hari. 

Kadang saya merasa tidak bisa terlalu terbuka mengenai pekerjaan saya dan perasaan saya ke orangtua, karena ketika saya cerita tentang pekerjaan, tanggapannya “kok bisa begitu ya?” atau kalau saya mengeluh capek tanggapannya “kan kamu sendiri yang pilih profesi itu” atau “setiap pekerjaan pasti ada capeknya”. Saya tau. Namun saya kadang butuh mengeluh dan saya berharap juga sih tanggapannya bisa membuat saya merasa lebih lega. Kadang saya merasa ‘tidak nyambung’ ngobrol atau ‘tidak lega’ ketika bercerita dengan orangtua di rumah. Kadang juga merasa tidak ingin menambah beban mereka dengan cerita saya sehingga saya memilih untuk tidak cerita. Kadang lho, bukan selalu. 

Bekerja freelance pun membuat saya merasa kesepian karena saya tidak setiap hari bertemu dengan rekan kerja. Terlebih lagi pekerjaan saya sebagai psikolog yang tidak memungkinkan saya berinteraksi dengan rekan kerja saat saya bekerja. Soalnya ketika saya bekerja, saya berinteraksinya dengan klien. Hahaha. Jadi memang bergaul atau hahahihinya pasti di luar jam kerja. Sekali lagi, bukan berarti tidak ada yang bisa saya nikmati dari pekerjaan saya. 

Belum memiliki pasangan juga sering membuat saya merasa kesepian. Entah ini bisa dijadikan salah satu penyebab kesepian atau tidak. Tapi saya merasa (atau berharap ya?) kalau saya punya pasangan yang sebaya dengan saya dan cocok dengan saya, mungkin saya dan dia bisa berbagi cerita. Bisa manja-manja (lha?). Karena di usia hampir 30 lalu minta manja-manja ke orangtua biasanya membuat saya disebut ‘bayi besar’. Gimana dong, saya kan punya kebutuhan akan afeksi (curhat maksimal). Hahahaha. 

Hal yang membuat saya merasa senang adalah  ketika diajak ketemuan atau jalan-jalan oleh teman-teman yang (saya rasa) dekat dengan saya. Karena ketika bertemu teman, tema obrolannya bisa serupa. Bisa ketawa-ketawa. Tanggapannya pun sering kali membuat nyaman. Saya merasa dimengerti. 

Maka ketika saya merasa kesepian dan sendiri, saya berharap ada teman yang mengerti bahwa saya butuh ditemani. 

Oh, atau mungkin saya nya yang perlu proaktif mendatangi teman atau minta ditemani.