Tuesday, June 26, 2018

Pengalaman Membuka Tabungan Haji di BRI Syariah


Saya senang sekali jalan-jalan. Jalan-jalan merupakan hal yang dapat membantu saya melepas stress, menyalurkan energi saya dalam bentuk aktivitas fisik, dan memuaskan rasa ingin tahu terhadap berbagai hal baru 😊 Pokoknya hampir selalu happy deh kalo jalan-jalan. Nah, kalau saya bilang mau jalan kesini, kesana, kesitu, Ibu saya pasti akan bilang “Jalan-jalan melulu, kapan haji nya?”. Atau bahkan ketika saya bilang saya bercita-cita ke Jepang, Ibu saya bilang “Cita-cita kok ke Jepang… Cita-cita itu pergi haji!”

Yah, gimana ya Mak. Saya juga punya cita-cita pergi haji kok, tapi ngga terucap aja ke Mak.

Perasaan saya campur aduk saat itu. Ketika saya cerita ke teman saya, dia bilang “Buat apa mempertentangkan hobi dan kewajiban pergi haji bila mampu? Pergi haji itu kan usahanya bisa dicicil. Yaudah cicil aja dulu.”

Saat itulah saya mendapat pencerahan bahwa saya perlu segera mencicil usaha pergi haji. Langkah awalnya adalah membuka tabungan haji. Ya gak. Yang penting ada niat, cicil menabung, sambil menyeimbangkan hidup. Hehehe. 

Sebelum buka tabungan haji, tentunya saya riset dulu mengenai tabungan haji yang ada di Indonesia. Pilihan saya jatuh ke Bank Syariah karena ingin memulai ibadah ini dengan baik. Meski kata ayah Bank Syariah di Indonesia itu ngga ada yang murni syariah, paling tidak saya mencoba. 

Untuk membuka tabungan haji, dokumen yang perlu dibawa antara lain:
  1. KTP Asli,
  2. NPWP asli (kalau tidak punya, tidak apa-apa, nanti akan dibuatkan surat keterangan tidak punya npwp), dan 
  3. Fotokopi Kartu Keluarga.
Selanjutnya, setelah baca berbagai artikel di internet, pilihan saya jatuh ke BRI Syariah. 

Leaflet Tabungan Haji BRI Syariah

Yang bikin saya tertarik untuk menabung di BRI Syariah adalah:
  1. Gratis biaya administrasi tabungan,
  2. Tabungannya TIDAK BISA diambil kapan saja. Awalnya kaget sih (beneran deg-deg-an) ketika Mba CS mengonfirmasi hal tersebut. Tapi setelah mikir…karena niatnya untuk haji, baguslah kalau ngga bisa diambil kecuali untuk urusan haji. Lalu saya tanya, kira-kira kalau saya meninggal di tengah masa menabung, bagaimana? CSnya bilang, kalau jumlah tabungannya belum sampai 25 juta nanti bisa tutup rekening haji BRIS dan uang tabungan akan diberikan pada ahli waris; kalau jumlah tabungan sudah sampai 25 juta dan sudah dapat nomor porsi haji, berarti harus urus dulu ke Depag (akan makan waktu kurang lebih 1 – 2 bulan), lalu urus penutupan rekening di BRIS, dan uangnya akan diberikan ke ahli waris. Tenang deh setelah dengar keterangan tersebut.  
  3. Ada asuransi jiwa dan kecelakaan (biaya asuransi jiwa dan kecelakaan yang ditanggung mungkin hanya berlaku saat berhaji saja, saya lupa tanya detail mengenai hal ini).
Terus terang, pelayanan saat saya datang tergolong agak lama. Untuk 3 orang yang mengantri (termasuk saya) saya perlu menunggu sekitar 40 menit. Hahaha. Begitu giliran saya membuka tabungan, saya diminta untuk mengisi 2 berkas (yang kayanya bisa deh diisi selagi menunggu giliran). Di salah satu berkas yang saya isi, ada kolom "Potongan zakat 2.5% dari nisbah" dengan pilihan jawaban "Ya" dan "Tidak". Kalau kita pilih "Ya" artinya nisbah (uang bagi hasil) akan dipotong secara otomatis. Yang dipotong hasil bagi hasilnya saja, jadi uang yang kita tabung ngga akan dipotong. Berhubung saya ga paham-paham amat apakah potongan zakat dari nisbah itu wajib atau ngga, saya pilih “Iya”. Saya pikir enak juga ga perlu pusing itung zakatnya. Yowis otomatis aja. Setelah isi-isi dan tanda tangan… 

Alhamdulillah! Akhirnya JADI juga Marina buka tabungan haji. Yeaaay. Di akhir sesi bikin tabungan, Mba nya bilang semoga berkah. Saya jadi merasa “adem” dan mengaminkan doa si Mba CS. 

Sekian dulu cerita hari ini. Doain saya ya semoga saya beneran bisa pergi haji. Kalau bisa sih berangkatnya bareng pasangan x)

Aamiin-in aja ya pemirsah. Hehehe.  

Monday, April 16, 2018

Berteman dengan Kesepian


Mendekati usia 30 tahun, masih tinggal dengan orangtua, kerja freelance dan belum memiliki pasangan bukan perkara yang mudah (bagi saya). 

Rasa “sepi” dan “sendiri” sudah jadi teman sehari-hari. 

Kadang saya merasa tidak bisa terlalu terbuka mengenai pekerjaan saya dan perasaan saya ke orangtua, karena ketika saya cerita tentang pekerjaan, tanggapannya “kok bisa begitu ya?” atau kalau saya mengeluh capek tanggapannya “kan kamu sendiri yang pilih profesi itu” atau “setiap pekerjaan pasti ada capeknya”. Saya tau. Namun saya kadang butuh mengeluh dan saya berharap juga sih tanggapannya bisa membuat saya merasa lebih lega. Kadang saya merasa ‘tidak nyambung’ ngobrol atau ‘tidak lega’ ketika bercerita dengan orangtua di rumah. Kadang juga merasa tidak ingin menambah beban mereka dengan cerita saya sehingga saya memilih untuk tidak cerita. Kadang lho, bukan selalu. 

Bekerja freelance pun membuat saya merasa kesepian karena saya tidak setiap hari bertemu dengan rekan kerja. Terlebih lagi pekerjaan saya sebagai psikolog yang tidak memungkinkan saya berinteraksi dengan rekan kerja saat saya bekerja. Soalnya ketika saya bekerja, saya berinteraksinya dengan klien. Hahaha. Jadi memang bergaul atau hahahihinya pasti di luar jam kerja. Sekali lagi, bukan berarti tidak ada yang bisa saya nikmati dari pekerjaan saya. 

Belum memiliki pasangan juga sering membuat saya merasa kesepian. Entah ini bisa dijadikan salah satu penyebab kesepian atau tidak. Tapi saya merasa (atau berharap ya?) kalau saya punya pasangan yang sebaya dengan saya dan cocok dengan saya, mungkin saya dan dia bisa berbagi cerita. Bisa manja-manja (lha?). Karena di usia hampir 30 lalu minta manja-manja ke orangtua biasanya membuat saya disebut ‘bayi besar’. Gimana dong, saya kan punya kebutuhan akan afeksi (curhat maksimal). Hahahaha. 

Hal yang membuat saya merasa senang adalah  ketika diajak ketemuan atau jalan-jalan oleh teman-teman yang (saya rasa) dekat dengan saya. Karena ketika bertemu teman, tema obrolannya bisa serupa. Bisa ketawa-ketawa. Tanggapannya pun sering kali membuat nyaman. Saya merasa dimengerti. 

Maka ketika saya merasa kesepian dan sendiri, saya berharap ada teman yang mengerti bahwa saya butuh ditemani. 

Oh, atau mungkin saya nya yang perlu proaktif mendatangi teman atau minta ditemani.