Sampai di Melbourne
Sampai di Melbourne, saya dan
rombongan disambut matahari yang terik tapi tetap dingin dan berangin (meminjam
istilah dari dr. Vita, ini disebut “matahari pencitraan” :p ). Kami ngga bisa
langsung check-in karena check-in baru bisa dilakukan jam 14.00. dr. Vita
mengajak kami berbelanja di Queen Victoria Market. Kami beli daging, telur, beras, sayur, buah, dll karena memang kami akan memasak secara kolektif untuk makan siang dan malam di
hari kerja supaya menghemat pengeluaran (TERBUKTI HEMAT! Hanya 100 AUD untuk 1
bulan lho!). Untuk sarapan dan makan saat weekend, kami sepakat untuk
menyiapkan makanan masing-masing. Rasa-rasanya sih ngga habis banyak, sekitar
50 AUD.
Quest – Serviced Apartment (Finlay Place, Carlton)
Kami tinggal di sebuah serviced
apartment namanya Quest di daerah Carlton. Lokasinya strategis (di Lygon Street - surganya resto Italia) dan apartemennya nyaman. Di apartemen tersebut fasilitasnya lengkap. Mulai dari fasilitas wifi,
toiletries, hair dryer, mesin cuci plus pengeringnya, setrika plus mejanya, sampai alat
masak macem panci, teflon, microwave, oven, coffee maker, dll. Pokoke lengkap
sudah. Awal sampai di Melbourne sempet mikir, aduh gimana jemuran mau kering
kalo cuacanya dingin begini. Mana ngga ada jemuran. Tapi pikiran tersebut
hilang sudah karena saya baru tau kalo mesin pengering di apartemen bisa
mengeringkan baju-baju saya seketika *lebay*. Hahahaha. Satu sampai 2 jam saja
baju-baju bisa kering. Bener lah kata dr. Vita ngga usah bawa baju
banyak-banyak. Soalnya bisa kok cuci kering pake. Bahkan sebenarnya bisa aja 1
baju dipake 2 kali tanpa dicuci karena kitanya ngga keringetan dan ngga bau.
Oiya, sekedar tips, kalo jalan kesana enaknya banyakin bawa celana bahannya
macem bahan jeans dan corduroy. Soalnya bahan tersebut tebal dan ngga perlu
disetrika. Kalau pakai celana bahan yang licin, dijamin dingin dan rempong.
Cuaca Melbourne di bulan November 2016
Sebelum berangkat, saya sempat
googling dulu mengenai cuaca di Melbourne supaya tau pakaian apa yang perlu
saya bawa. Dari internet, saya liat Melbourne katanya bisa punya 4 musim dalam
satu hari sehingga kita disarankan untuk pakai baju lapis-lapis. Jadi kalo
tiba-tiba panas, tinggal buka lapisan. Kalo cuacanya dingin, tinggal tambah
lapisan. Hasil cek cek suhu Melbourne bulan November juga menunjukkan bahwa
suhunya kurang lebih 19 derajat celcius. Hal itu lah yang membuat saya
memutuskan untuk bawa satu jaket tebal saja, 1 sweater biasa, dan 2 cardigan.
Meski ibu saya memberi saran untuk membawa satu sweater tebal lagi, saya ngga
bawa tuh. Hahaha. Pede aja cuacanya ngga bakal sedingin itu.
Ketika saya kesana, seharusnya
sudah masuk musim panas, tapi tampaknya ada anomali sehingga cuacanya masih
duingin. Ngga dingin sampai beku sih, tapi buat manusia tropis tetep aja terasa
dingin. Yang bikin tambah dingin sebenarnya anginnya. Brr brr. Suhu di
Melbourne ketika itu umumnya berkisar dari 10 derajat celcius sampai 19
derajat. Pernah ada satu hari yang suhunya 8 derajat celcius dengan real feel 5
derajat celcius dan pernah juga ada satu hari yang puanas dengan suhu 34
derajat celcius. Nah, pas lagi 5 derajat celcius itu saya mikir “Coba uwe bawa
sweater :’D” Hahaha. Tapi yasudalah. Mau gimana lagi. Lapis lapis aja. Ternyata
cukup kok dengan lapis-lapis. Kalo tangan terasa dingin, masukin aja ke kantong.
Atau cari gandengan… (upsss.. tapi ga ada :( )
Short course yang saya ikuti
Setiap hari, saya dan teman-teman
saya berangkat kuliah ke University of Melbourne dengan jalan kaki sekitar 10
menit. Perjalanannya menyenangkan sekali karena melewati taman.
Yang bikin amazed juga adalah pengendara mobil dan sepeda pasti berhenti (meski kita ngga ngasih tangan “stop”) ketika melihat ada orang yang mau nyebrang. Setiap kali mereka berhenti, langsung mikir kalo di Indonesia rasanya jarang jarang ada mobil yang mau berhenti tanpa lambaian stop.
Jalan menuju kampus |
Yang bikin amazed juga adalah pengendara mobil dan sepeda pasti berhenti (meski kita ngga ngasih tangan “stop”) ketika melihat ada orang yang mau nyebrang. Setiap kali mereka berhenti, langsung mikir kalo di Indonesia rasanya jarang jarang ada mobil yang mau berhenti tanpa lambaian stop.
Course yang saya ikuti adalah
mengenai “Eliminating Physical Restraint and Confinement of Persons with Mental
Illness in Indonesia” atau kalau ditranslasi maka jadi eliminasi pasung.
Mengapa pasung? Karena pasung adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling
berat. Bayangin aja, diiket, dirantai, atau diisolasi. Orang yang dipasung jadi
kehilangan kebebasan. Untuk bergerak pun jadinya sulit ya. Kasus pasung
sebenarnya masih banyak di Indonesia dan masih banyak juga yang tidak
terdeteksi. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang
memang bervariasi, kurangnya tenaga keswa/tenaga untuk melakukan penjangkauan, perbedaan
definisi “pasung”, dan lain-lain. Isu pasung sendiri saat ini belum menjadi fokus
utama presiden, tapi Kemenkes dan Kemensos sudah punya perhatian terhadap isu
ini. Kemenkes punya “Indonesia Bebas Pasung” dan Kemensos punya “Gerakan Stop
Pemasungan”. Perwakilan dari dua kementrian tersebut dipertemukan dalam course
tadi supaya bisa berjalan bersama dan tentunya supaya programnya bisa
sustainable. Dari course tersebut, jadi belajar bahwa kita masih punya banyak
PR terkait masalah kesehatan jiwa (keswa). Kerjasama lintas sektor, lintas
profesi masih perlu dilakukan. Dari diskusi-diskusi kami, kami berupaya untuk
mengidentifikasi masalah yang masih terjadi, resource yang sudah ada, serta alternatif
penyelesaian masalah. Hasil analisa tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk
membuat advocacy paper serta membuat program kerja yang cucok :D
Selama short course, kami
dibimbing oleh Prof. Harry Minas dan dr. Hervita Diatri, SpKJ. Ada kegiatan kuliah di kelas,
kegiatan visit ke mental health agencies di Australia, bikin laporan visit, buanyak
diskusi kelompok, dan tentunya PR. Hampir tiap malem ngerjain PR sampai larut.
Meski begitu, temen-temen pun pada niat ngerjain tugas. Jadi menyenangkan…
Kuliahnya menyenangkan. Prof.
Harry Minas memang ahli. Orangnya kritis dan sering kasi feedback yang
membangun. Agency visit juga menyenangkan karena saya dan teman-teman juga jadi
bisa ngeliat langsung agency disana seperti apa. Agency yang dikunjungi ngga
cuma agency penyedia layanan keswa kaya Beyond Blue, Orygen, Wellways, tetapi
juga agency yang mendukung pelayanan keswa maupun disabilitas, misalnya: Office
of the Public Advocate, Mental Health Complaints Commissioner, Human Rights
Commissioner, National Disability Insurance Scheme, Vision Australia, Better Hearing,
termasuk ke Launch Housing. Intinya mah state Victoria udah menunjukkan
kepedulian yang konkret (meski pada praktiknya belum sempurna) terhadap isu
disabilitas (termasuk di dalamnya isu disabilitas yang disebabkan oleh masalah
keswa). Sistem pelayanannya pun menyeluruh. Ngga cuma berbentuk pelayanan keswa
berupa medikasi atau psikoterapi, tetapi juga layanan asuransi, layanan untuk
menerima pengaduan dan kritik, kantor public advocate (penyedia layanan
guardianship untuk orang-orang yang kapasitasnya terbatas), dll.
Oiya, saya dan Mas Anto (perwakilan KPSI Tulungagung) juga
kebagian jatah siaran di salah satu radio komunitas disana. Diwawancara dikit
soal apa yang kami lakukan disana dan kondisi di Indonesia. Nanti (sekitar
akhir Desember) wawancaranya bisa didengar melalui Brainwaves podcast.
No comments:
Post a Comment