Saturday, December 3, 2016

Melbourne: Menjalani Cita-Cita



Sampai di Melbourne
Sampai di Melbourne, saya dan rombongan disambut matahari yang terik tapi tetap dingin dan berangin (meminjam istilah dari dr. Vita, ini disebut “matahari pencitraan” :p ). Kami ngga bisa langsung check-in karena check-in baru bisa dilakukan jam 14.00. dr. Vita mengajak kami berbelanja di Queen Victoria Market. Kami beli daging, telur, beras, sayur, buah, dll karena memang kami akan memasak secara kolektif untuk makan siang dan malam di hari kerja supaya menghemat pengeluaran (TERBUKTI HEMAT! Hanya 100 AUD untuk 1 bulan lho!). Untuk sarapan dan makan saat weekend, kami sepakat untuk menyiapkan makanan masing-masing. Rasa-rasanya sih ngga habis banyak, sekitar 50 AUD.

Quest – Serviced Apartment (Finlay Place, Carlton)
Kami tinggal di sebuah serviced apartment namanya Quest di daerah Carlton. Lokasinya strategis (di Lygon Street - surganya resto Italia) dan apartemennya nyaman. Di apartemen tersebut fasilitasnya lengkap. Mulai dari fasilitas wifi, toiletries, hair dryer, mesin cuci plus pengeringnya, setrika plus mejanya, sampai alat masak macem panci, teflon, microwave, oven, coffee maker, dll. Pokoke lengkap sudah. Awal sampai di Melbourne sempet mikir, aduh gimana jemuran mau kering kalo cuacanya dingin begini. Mana ngga ada jemuran. Tapi pikiran tersebut hilang sudah karena saya baru tau kalo mesin pengering di apartemen bisa mengeringkan baju-baju saya seketika *lebay*. Hahahaha. Satu sampai 2 jam saja baju-baju bisa kering. Bener lah kata dr. Vita ngga usah bawa baju banyak-banyak. Soalnya bisa kok cuci kering pake. Bahkan sebenarnya bisa aja 1 baju dipake 2 kali tanpa dicuci karena kitanya ngga keringetan dan ngga bau. Oiya, sekedar tips, kalo jalan kesana enaknya banyakin bawa celana bahannya macem bahan jeans dan corduroy. Soalnya bahan tersebut tebal dan ngga perlu disetrika. Kalau pakai celana bahan yang licin, dijamin dingin dan rempong. 

Cuaca Melbourne di bulan November 2016
Sebelum berangkat, saya sempat googling dulu mengenai cuaca di Melbourne supaya tau pakaian apa yang perlu saya bawa. Dari internet, saya liat Melbourne katanya bisa punya 4 musim dalam satu hari sehingga kita disarankan untuk pakai baju lapis-lapis. Jadi kalo tiba-tiba panas, tinggal buka lapisan. Kalo cuacanya dingin, tinggal tambah lapisan. Hasil cek cek suhu Melbourne bulan November juga menunjukkan bahwa suhunya kurang lebih 19 derajat celcius. Hal itu lah yang membuat saya memutuskan untuk bawa satu jaket tebal saja, 1 sweater biasa, dan 2 cardigan. Meski ibu saya memberi saran untuk membawa satu sweater tebal lagi, saya ngga bawa tuh. Hahaha. Pede aja cuacanya ngga bakal sedingin itu.

Ketika saya kesana, seharusnya sudah masuk musim panas, tapi tampaknya ada anomali sehingga cuacanya masih duingin. Ngga dingin sampai beku sih, tapi buat manusia tropis tetep aja terasa dingin. Yang bikin tambah dingin sebenarnya anginnya. Brr brr. Suhu di Melbourne ketika itu umumnya berkisar dari 10 derajat celcius sampai 19 derajat. Pernah ada satu hari yang suhunya 8 derajat celcius dengan real feel 5 derajat celcius dan pernah juga ada satu hari yang puanas dengan suhu 34 derajat celcius. Nah, pas lagi 5 derajat celcius itu saya mikir “Coba uwe bawa sweater :’D” Hahaha. Tapi yasudalah. Mau gimana lagi. Lapis lapis aja. Ternyata cukup kok dengan lapis-lapis. Kalo tangan terasa dingin, masukin aja ke kantong. Atau cari gandengan… (upsss.. tapi ga ada :( )

Cerah tapi sebenernya dingin


Short course yang saya ikuti
Setiap hari, saya dan teman-teman saya berangkat kuliah ke University of Melbourne dengan jalan kaki sekitar 10 menit. Perjalanannya menyenangkan sekali karena melewati taman.

Jalan menuju kampus

Yang bikin amazed juga adalah pengendara mobil dan sepeda pasti berhenti (meski kita ngga ngasih tangan “stop”) ketika melihat ada orang yang mau nyebrang. Setiap kali mereka berhenti, langsung mikir kalo di Indonesia rasanya jarang jarang ada mobil yang mau berhenti tanpa lambaian stop.
Course yang saya ikuti adalah mengenai “Eliminating Physical Restraint and Confinement of Persons with Mental Illness in Indonesia” atau kalau ditranslasi maka jadi eliminasi pasung. Mengapa pasung? Karena pasung adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling berat. Bayangin aja, diiket, dirantai, atau diisolasi. Orang yang dipasung jadi kehilangan kebebasan. Untuk bergerak pun jadinya sulit ya. Kasus pasung sebenarnya masih banyak di Indonesia dan masih banyak juga yang tidak terdeteksi. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memang bervariasi, kurangnya tenaga keswa/tenaga untuk melakukan penjangkauan, perbedaan definisi “pasung”, dan lain-lain. Isu pasung sendiri saat ini belum menjadi fokus utama presiden, tapi Kemenkes dan Kemensos sudah punya perhatian terhadap isu ini. Kemenkes punya “Indonesia Bebas Pasung” dan Kemensos punya “Gerakan Stop Pemasungan”. Perwakilan dari dua kementrian tersebut dipertemukan dalam course tadi supaya bisa berjalan bersama dan tentunya supaya programnya bisa sustainable. Dari course tersebut, jadi belajar bahwa kita masih punya banyak PR terkait masalah kesehatan jiwa (keswa). Kerjasama lintas sektor, lintas profesi masih perlu dilakukan. Dari diskusi-diskusi kami, kami berupaya untuk mengidentifikasi masalah yang masih terjadi, resource yang sudah ada, serta alternatif penyelesaian masalah. Hasil analisa tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk membuat advocacy paper serta membuat program kerja yang cucok :D 

Selama short course, kami dibimbing oleh Prof. Harry Minas dan dr. Hervita Diatri, SpKJ. Ada kegiatan kuliah di kelas, kegiatan visit ke mental health agencies di Australia, bikin laporan visit, buanyak diskusi kelompok, dan tentunya PR. Hampir tiap malem ngerjain PR sampai larut. Meski begitu, temen-temen pun pada niat ngerjain tugas. Jadi menyenangkan… 

Kuliahnya menyenangkan. Prof. Harry Minas memang ahli. Orangnya kritis dan sering kasi feedback yang membangun. Agency visit juga menyenangkan karena saya dan teman-teman juga jadi bisa ngeliat langsung agency disana seperti apa. Agency yang dikunjungi ngga cuma agency penyedia layanan keswa kaya Beyond Blue, Orygen, Wellways, tetapi juga agency yang mendukung pelayanan keswa maupun disabilitas, misalnya: Office of the Public Advocate, Mental Health Complaints Commissioner, Human Rights Commissioner, National Disability Insurance Scheme, Vision Australia, Better Hearing, termasuk ke Launch Housing. Intinya mah state Victoria udah menunjukkan kepedulian yang konkret (meski pada praktiknya belum sempurna) terhadap isu disabilitas (termasuk di dalamnya isu disabilitas yang disebabkan oleh masalah keswa). Sistem pelayanannya pun menyeluruh. Ngga cuma berbentuk pelayanan keswa berupa medikasi atau psikoterapi, tetapi juga layanan asuransi, layanan untuk menerima pengaduan dan kritik, kantor public advocate (penyedia layanan guardianship untuk orang-orang yang kapasitasnya terbatas), dll. 

Oiya, saya dan Mas Anto (perwakilan KPSI Tulungagung) juga kebagian jatah siaran di salah satu radio komunitas disana. Diwawancara dikit soal apa yang kami lakukan disana dan kondisi di Indonesia. Nanti (sekitar akhir Desember) wawancaranya bisa didengar melalui Brainwaves podcast.


No comments:

Post a Comment