Sepupu sebaya saya menikah pada tanggal 7 Januari lalu. Mengingat
yang nikah adalah sepupu sebaya saya-yang usianya sedikit lebih muda dari saya,
beberapa hari sebelum hari pernikahan dia, saya sudah membayangkan beberapa
jenis pertanyaan yang akan ditanyakan ke saya, antara lain:
“Ayo, kapan nikah?”
“Udah ada calon belum?”
“Kapan nih mau ngenalin calonnya?” , dll.
Kemudian saya juga mereka-reka, bagaimana saya akan menjawab
pertanyaan tersebut. Misalnya:
“Hmm, nunggu calon yang cocok.”
“Udah ada, tapi belum ketemu kali.”
Atau “Doain aja…”
Saya membayangkan diri saya tersenyum ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, sesungguhnya di dalam hati saya, rasanya
getirrrr. Pait banget. Saya tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa ngga enak di
dalam hati (atau pikiran saya?) meski saya mencoba tersenyum. Gini ya,
pertanyaan tipikal tersebut sungguh tidak saya ketahui jawabannya. Jodoh,
rezeki, maut cuma Allah yang tau. Yeah…meski manusia juga punya andil dalam
“mengusahakan”.
Kecemasan akan pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya
curcol pada teman saya. Dia bilang, “Anggap saja itu pertanyaan keramahan. Toh
jawabannya juga kita ngga tahu. Cuma Allah yang tahu jawabannya.”
Saya merasa lega-an.
*
Sehari sebelum hari-H, saya berkunjung ke rumah sepupu saya
tersebut. Ceritanya, saya diminta tolong mendampingi sepupu saya (alias jadi
LO) yang lagi sibuk ngurusin nikahannya besok. Berhubung sebagian besar capeng
(calon pengantin) kerjakan sendiri, saya terbayang bagaimana riweuh nya sepupu saya. Bahkan ketika
saya datang, masih ada sekitar 200 souvenir yang belum dibungkus. Hihihi. Langsung
deh kerja bakti.
Momen kumpul dengan keluarga ini sesungguhnya sangat saya
sukai. Kenapa? Karena pada dasarnya keluarga besar saya menyenangkan. Seneng
deh kalo bercanda dan jalan-jalan sama mereka. TAPI, pada momen itu segalanya
berubah karena negeri api menyerang. Eaaa. Hahaha. Menyerang saya dengan
pertanyaan dan pernyataan tipikal tersebut. Awalnya saya berniat menghitung dan
mencatat pertanyaan dan pernyataan tersebut, tapi ngga jadi karena kebanyakan
dan rasanya kurang kerjaan banget ngitungin gituan. Hahahahaha.
“Iya, tolong dampingi dia ya… Mudah-mudahan dengan
ngedampingin, Kak Utet cepet nyusul!”
Ok, masih ketawa.
“Kak Utet kapan? Habis lebaran ya?”
Haha *mulai nyengir getir karena ngga tau mau jawab apa*
“Yah, Kak Utet kesusul deh…”
Ya Tuhan… Nikah bukan lomba lari!!! Saya tau betul nikah
bukan lomba lari, tapi perasaan saya tetep ngga enak dibilang kesusul.
“Sok atuh Kak Utet, mulai serius mencari.”
Nah, yang ini saya suka. Karena bener.
“Kakak LO, sabar yah…”
Saya diam. Berusaha mencerna maksudnya apa. Kemudian saya
marah campur sedih. Pernyataan tersebut adalah pernyataan yang bikin saya baper
dan mikir kemana-mana. Pernyataan tersebut membuat saya mikir “Hah?! Apa gw
se-pathetic itu cuma jadi LO? Disuruh sabar karena sampe sekarang belum
nikah-nikah?” Sampai saya mikir jahat “Mudah-mudahan situ dapet ujian kesabaran
yang lebiiiih dari saya.” Setelah mikir jahat, baju saya ketumpahan minuman. Astaghfirullah.
Hahahaha. Saya merasa saya diingatkan Allah untuk ngga mikir jahat-jahat.
Di akhir acara, ketika pamitan, tante saya bilang gini…
“Nah, sekarang mah giliran aku doain Kak Utet yah biar
beneran nikah tahun ini.”
Saya bilang “Sungguh ya didoain?”
Dijawab “Iya…”
Hati ini jadi adem-an...
*
Sepanjang malam setelah acara nikahan tersebut hingga
tulisan ini saya buat, perasaan dan pikiran saya masih ngga enak. Timbul
pertanyaan-pertanyaan:
Kenapa harus menikah cepat-cepat?
Apakah menikah cepat menambah nilai saya di mata
orang-orang?
Kenapa kesannya “nilai” saya turun ketika saya belum menikah
di usia 27 ini?
Masih ada yang mikir nikah itu susul-susulan?
Yang nanya-nanya sebenernya betul-betul care ngga dengan kondisi saya?
Kenapa ngga coba ajak saya bicara secara pribadi tentang
topik ini?
Ngga tau kan kenapa sampai saat ini saya belum menikah?
*
Setiap orang punya alasan tersendiri terkait pilihan-pilihan
yang ia ambil.
Setiap orang punya waktunya sendiri untuk segala hal dalam
hidupnya.
*
Saya, perempuan 27 tahun, belum menikah, bukan karena saya
tidak mau menikah. Saya punya cerita sendiri tentang kenapa hingga saat ini
saya belum menikah dan tidak ingin saya ceritakan di blog.
Gini…Sejak awal saya sudah mewanti-wanti diri saya untuk
tidak baper, tapi ternyata susah.
Saya coba rasionalisasi dengan cara nginget nginget teorinya Erik Erikson
“Individu usia dewasa muda (sekitar 20 – 40 tahun) memiliki krisis “Intimacy vs
Isolation”. Jadi, memang di usia tersebut seorang individu mulai berpikir soal
hubungan romantis dan pengembangan karier. Saya pikir, wajar saja saya
sekarang mengalami krisis yang dimaksud dalam teori tersebut” pun tetap saja
susah. Ditambah lagi perasaan kesepian yang mulai sering bertamu.
Intinya, pertanyaan atau pernyataan keramahan tersebut
sebenarnya tidak ramah buat saya. Buat pikiran saya. Buat harga diri saya. Jadi
alangkah baiknya, pertanyaan atau pernyataan keramahan tersebut dipikir dan
disampaikan sedemikian rupa sehingga tidak menyinggung orang yang ditanyakan.
Atau kalau itu cuma pertanyaan iseng, mending ngga usah nanya daripada
bikin orang sedih.
*
Yaela Marina baper amat.
Hahahahaha. Tapi kalo Anda jadi saya, mungkin Anda bisa paham kenapa saya baper untuk urusan satu ini. Salah satu
krisis yang masih saya upayakan untuk saya hadapi dan atasi.
*
Nah, buat yang masih baper
(nunjuk diri sendiri), inget bahwa masalah itu jadi masalah karena kita
pikir itu masalah. Jadi, hayuuu atasi masalah dan/atau ubah cara pikir supaya baper nya ngga mengganggu. Anggap saja
pertanyaan itu reminder dari Allah. Anggap aja orang itu perhatian sama kita.
Pikir yang positif-positif.
Jangan lupa, yang paling penting adalah… Sabar.
*
Tolong maafin saya kalau ada perkataan/perbuatan saya yang
sengaja/tidak sengaja menyinggung/menyakiti. Daaaan…
Doakan saya ya! :)
(baca dengan intonasi ala-ala Benteng Takeshi)
Most of people loooooves to judge and comments. Gw pun juga begitu sih. Sabar ya sister <3
ReplyDeleteHe eh sist. Thanks sist :)
ReplyDelete